
Pemerintah Thailand kembali menunda rencana penerapan biaya masuk bagi turis asing, hingga pertengahan tahun 2026.
Sebelumnya, pemerintah Thailand berencana untuk menetapkan biaya masuk sekitar 300 baht (sekitar Rp 151.824) untuk turis yang masuk via jalur udara, dan 150 baht (sekitar 75.912) bagi mereka yang masuk melalui jalur darat dan laut.
Kebijakan ini awalnya ingin diterapkan pada 2022 lalu. Namun, setelah Thailand mengalami penurunan turis dan juga faktor lainnya, kebijakan ini akhirnya ditunda.
Menurut data terbaru, hingga Juli 2025, Thailand hanya mencatat 17 juta kunjungan turis, turun 5 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Angka ini masih jauh dari target pemerintah, yaitu 35 juta turis sepanjang 2025. Dengan pariwisata menyumbang hampir 20 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), kekurangan ini dianggap cukup signifikan.
Faktor lain yang turut mempengaruhi penundaan kebijakan ini adalah penguatan mata uang baht, yang membuat Thailand lebih mahal dibanding negara tetangga.
Kenaikan harga tiket pesawat juga turut berpengaruh, khususnya dari pasar utama, seperti China dan Eropa, hingga persaingan regional, di mana beberapa negara ASEAN belum menerapkan biaya serupa.
Dalam situasi tersebut, pemerintah memilih untuk menunda penerapan kebijakan, guna menghindari penurunan lebih lanjut dalam kedatangan wisatawan.
Biaya Masuk Turis untuk Apa?
Biaya masuk turis dirancang untuk dua tujuan utama, yaitu memberikan asuransi dasar perjalanan bagi turis asing, khususnya dalam keadaan darurat. Serta mendanai pengembangan infrastruktur pariwisata, termasuk pelestarian lingkungan dan peningkatan destinasi wisata.
Rencananya, biaya akan dikumpulkan secara digital melalui platform Thailand Digital Arrival Card (TDAC) yang diluncurkan pada Mei 2025. Namun, hingga kini integrasi penuh antara TDAC dan sistem pembayaran masih dalam tahap pengembangan.

Meskipun nominalnya relatif kecil, biaya ini dinilai berpotensi memengaruhi wisatawan dengan anggaran terbatas, seperti backpacker, digital nomad, dan turis dari negara berkembang, seperti India, kawasan Asia Selatan, dan Afrika. Bagi mereka, tambahan biaya kecil pun bisa berdampak besar dalam keputusan bepergian.
Sebaliknya, wisatawan kelas premium kemungkinan besar tidak akan terpengaruh. Namun, secara keseluruhan, kebijakan ini dapat mengurangi daya tarik Thailand sebagai destinasi berbiaya hemat, dibanding negara-negara tetangga yang lebih ramah anggaran.
Perbandingan dengan Negara ASEAN Lain

Thailand bukan satu-satunya negara yang mempertimbangkan kebijakan ini. Beberapa negara juga sudah menerapkannya terlebih dahulu. Berikut daftarnya:
- Bali, Indonesia, telah menerapkan biaya turis sebesar Rp 150.000.
- Vietnam dan Malaysia belum mengenakan biaya serupa.
- Uni Eropa (EU) akan menerapkan sistem ETIAS dengan biaya 7 Euro atau sekitar Rp 134 ribu, mulai 2025 bagi turis non-Uni Eropa.
Dalam konteks ini, langkah Thailand untuk menunda kebijakan dinilai sebagai strategi menjaga daya saing jangka pendek, sambil mempersiapkan sistem yang lebih matang dan terintegrasi di masa depan.
Penundaan ini menunjukkan bahwa Thailand mengambil pendekatan hati-hati dalam menyelaraskan kebutuhan fiskal, dengan pemulihan sektor pariwisata.
Di tengah persaingan ketat di Asia Tenggara, keputusan ini memberi ruang bagi Thailand untuk tetap menarik turis, sambil memperkuat infrastruktur digital dan menyempurnakan kebijakan demi keberhasilan jangka panjang.