Menjelang libur Natal dan Tahun Baru, sorotan tajam tertuju pada Museum Louvre di Paris. Alih-alih menyambut lonjakan wisatawan, museum paling terkenal di dunia ini justru menghadapi aksi mogok kerja dari karyawannya sendiri. Para pekerja menyuarakan kekecewaan mendalam atas kondisi kerja, keamanan, serta lambatnya pembenahan bangunan bersejarah tersebut.
Aksi ini menjadi perbincangan luas karena terjadi di tengah musim liburan, saat jutaan wisatawan biasanya memadati museum ikonik yang menyimpan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci.
Aksi Mogok Kerja Ungkap Masalah Lama
Keluhan Bertahun-tahun Tak Kunjung Ditangani
Serikat pekerja menyatakan bahwa mogok kerja ini bukan keputusan mendadak. Protes dilakukan setelah berbagai keluhan yang diajukan selama bertahun-tahun tak mendapat respons memadai dari manajemen maupun pemerintah Prancis.
Salah satu pemicu utama adalah kasus perampokan perhiasan pada Oktober lalu. Dalam insiden tersebut, sekelompok perampok berhasil beraksi hanya dalam hitungan menit. Hingga kini, barang curian belum ditemukan, memunculkan pertanyaan serius tentang sistem keamanan yang diterapkan.
Bagi para pekerja, kejadian itu menjadi simbol dari pengabaian jangka panjang terhadap aspek perlindungan koleksi berharga.
Bangunan Tua dan Risiko terhadap Koleksi
Kebocoran dan Penutupan Ruang Pamer
Selain masalah keamanan, kondisi fisik bangunan juga menjadi perhatian utama. Pada November, kebocoran air dilaporkan merusak ratusan jurnal, buku, dan dokumen penting di departemen Mesir.
Tak hanya itu, sebuah galeri yang memamerkan keramik Yunani kuno terpaksa ditutup karena kekhawatiran terhadap keselamatan struktur langit-langit. Penutupan ruang-ruang pamer ini berdampak langsung pada pengalaman pengunjung dan akses terhadap koleksi seni.
Serikat pekerja menilai kurangnya investasi negara membuat perawatan gedung dan koleksi berjalan setengah hati, padahal nilai sejarah dan budayanya tak ternilai.
Kenaikan Harga Tiket Picu Ketidakpuasan
Dinilai Tidak Adil bagi Wisatawan
Di tengah kondisi museum yang dinilai belum optimal, kebijakan kenaikan harga tiket hingga 45% bagi pengunjung dari luar Uni Eropa turut memicu kemarahan. Wisatawan dari negara seperti Inggris dan Amerika Serikat kini harus membayar lebih mahal untuk masuk.
Menurut serikat pekerja, kebijakan ini bersifat diskriminatif. Mereka menilai pengunjung dipaksa membayar lebih tinggi, sementara fasilitas dan akses koleksi justru semakin terbatas akibat kekurangan staf dan seringnya ruang pamer ditutup.
Christian Galani dari serikat CGT menyebut langkah tersebut tidak sejalan dengan semangat museum sebagai institusi budaya publik.
Kekurangan Staf dan Beban Kerja Tinggi
Arus Pengunjung Tak Seimbang
Sebagai salah satu destinasi wisata terpadat di dunia, arus pengunjung setiap tahun terus meningkat. Namun, jumlah staf dinilai tidak sebanding dengan beban kerja yang harus ditanggung, terutama oleh petugas keamanan dan resepsionis.
Mereka mengaku kewalahan mengatur alur pengunjung yang sangat besar, sementara fasilitas keamanan dan ruang kontrol belum mengalami pembaruan signifikan. Keluhan ini disebut telah berulang kali disampaikan, tetapi tak kunjung mendapat solusi konkret.
Situasi tersebut menciptakan tekanan kerja tinggi dan meningkatkan risiko keselamatan, baik bagi koleksi maupun pengunjung.
Potensi Penutupan Parsial Selama Mogok
Dukungan Karyawan Meluas
Aksi mogok kerja ini didukung sekitar 2.200 karyawan dari berbagai divisi. Tak hanya staf garis depan, tetapi juga ilmuwan, dokumentaris, manajer koleksi, hingga kurator turut menyatakan dukungan.
Meski belum dipastikan akan terjadi penutupan penuh, pihak serikat menyebut kemungkinan museum hanya dibuka sebagian dengan rute kunjungan yang sangat terbatas. Hal ini tentu berdampak besar bagi wisatawan yang telah merencanakan kunjungan selama libur akhir tahun.
Kondisi ini menjadi sinyal kuat bahwa pembenahan menyeluruh diperlukan agar reputasi Museum Louvre sebagai pusat seni dunia tetap terjaga.